Wednesday 6 April 2016

PROBLEMATIKA PENEGAKKAN DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA (PAK) DI INDONESIA

PROBLEMATIKA PENEGAKKAN DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA (PAK) DI INDONESIA
Anna Suraya
Berdasarkan data dari BPJS Ketenagakerjaan klaim PAK akibat kerja di Indonesia tidak sampai 20 kasus dalam 1 tahun terakhir. Pertanyaannya adalah apakah betul kasus PAK kurang dari 20 kasus dalam 1 tahun atau hanya itu yang dilaporkan? Apakah yang terdiagnosis lebih dari 20 namun tidak dilaporkan? Bagaimana dengan kasus lainnya?
Merujuk pada pertanyaan pertama “Apakah betul hanya ada 20 kasus dalam 1 tahun? Bila ini jawabannya betul maka persoalan selesai  tidak ada yang perlu kita diskusikan dan Negara kita akan tercatat sebagai Negara surga bagi para pekerja. Tapi hal ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan yang membuat kita harus membuat kajian mengapa klaim PAK kurang dari 20 kasus dalam 1 tahun?
Dibawah saya copy data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2014 tentang jumlah kasus penyakit akibat kerja di Indonesia dan pada tiap tiap provinsi. Beberapa pertanyaan yang muncul diantaranya adalah, mengapa sangat jauh sekali data mengenai PAK dari Kemenkes dengan klaim BPJS KK? Apakah laporan dari Kemenkes tidak menjadi bahan rujukan klaim BPJS KK? Bagaimana seharusnya alur pelaporan PAK sehingga semua pihak terkait dapat mengetahuinya dan dapat memanfaatkan klain BPJS KK?
Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mencari penyebab rendahnya tingkat klaim PAK di BPJS KK dan adanya perbedaan angka laporan PAK di Kemenkes dengan klaim BPJS KK.



ALUR PELAYANAN DAN PELAPORAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Pekerja datang ke pusat kesehatan dengan beberapa kemungkinan diantaranya untuk pencegahan, pengobatan ataupun rehabilitasi. Sesuai dengan tempat dan kebutuhan maka kemungkinan apabila sakit pekerja akan datang ke klinik perusahaan, klinik layanan primer atau langsung ke rumah sakit. Bila terkait Dengan program pemeriksaan kesehatan tahunan maka pekerja akan diperiksa oleh provider MCU.
Dalam hal penggunaan BPJS kesehatan maka pekerja harus mendapat rujukan dari layanan primer atau PPK I untuk mendapatkan layanan kesehatan lebih lanjut di rumah sakit dan akan dilayani sesuai kapasitas rumah sakit atau di rujuk bila membutuhkan ke tingkat yang lebih tinggi .
Berdasarkan alur tersebut maka kemungkinan diagnosis penyakit akibat kerja dapat ditemukan di klinik perusahaan, layanan primer, rumah sakit maupun provider MCU.  
Secara administratif fasilitas kesehatan memberikan laporan diagnosis seluruh penyakit  ke Dinas Kesehatan setempat. Dalam kaitan pembiayaan Fasilitas Kesehatan memberikan laporan ke pihak asuransi. Dalam hal diagnosis PAK terdapat perbedaan laporan dimana Fasilitas Kesehatan yang menjadi anggota BPJS KK akan melaporkan PAK kepada BPJS KK dan Disnaker setempat sedangkan Fasilitas Kesehatan yang bukan anggota BPJS KK melaporkan sesuai alur administratif yaitu ke Dinas Kesehatan setempat. Bila terdapat PAK di Fasilitas Kesehatan yang bukan anggota BPJS KK maka klaim BPJS KK diajukan oleh pihak pemberi kerja dengan form yang sudah tersedia.
Penyakit Akibat Kerja yang terdiagnosis pada MCU dilaporkan pada pemilik perusahaan untuk dilakukan follow up terkait kliam BPJS KK. Adapun provider MCU yang merupakan PJK3 harus melaporkan PAK pada Disnaker setempat secara administratif.
Dari alur pelaporan tersebut dapat diketahui terdapat beberapa kemungkinan adanya gap data antara Kementerian Kesehatan, Kementrerian Tenaga Kerja dan BPJS KK. Terdapat kemungkinan PAK yang terdiagnosis di Fasilitas Kesehatan bukan anggota BPJS KK tidak dilaporkan untuk mendapatkan klaim asuransi BPJS KK. Sebaliknya ada kemungkinan tumpang tindih laporan dari Provider MCU dengan Klinik Perusahaan atau pihak pemberi kerja.

Gambar 1. Alur Pelayanan dan Laporan PAK
 


PENEGAKAN DAN PELAPORAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Berdasarkan gambar alur pada bagian terdahulu kemungkinan diagnosis PAK dapat ditemukan di klinik perusahaan, layanan primer, rumah sakit maupun provider MCU. Secara garis besar kasus PAK di Indonesia dapat merupakan kasus yang dilaporkan dan kasus yang tidak dilaporkan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kasus yang dilaporkan adalah kasus PAK yang dilaporkan ke BPJS KK dan Disnaker sehingga mendapatkan klaim PAK.
Kasus yang tidak dilaporkan dapat merupakan kasus yang sudah terdiagnosis sebagai PAK ataupun kasus yang tidak terdiagnosis sebagai PAK. Di bawah akan diuraikan beberapa kemungkinan mengapa PAK tidak dilaporkan ataupun tidak terdiagnosis pada beberapa tingkatan pelayanan kesehatan.
1.      Kasus PAK yang Dilaporkan.
2.      Kasus PAK yang Tidak  Dilaporkan
Kasus yang tidak dilaporkan dapat merupakan kasus yang telah terdiagnosis atau kasus yang belum terdiagnosis. Kasus yang terdiagnosis merupakan kasus PAK yang telah diketahui melalui serangkaian pemeriksaan namun karena berbagai alasan tidak dilaporkan. Kasus yang tidak terdiagnosis merupakan kasus PAK yang luput dari perhatian saat mendapatkan layanan kesehatan.
a.       Kasus PAK yang Terdiagnosis
·         Kasus PAK di Klinik Perusahaan yang Tidak Dilaporkan
Dengan wawancara dan pemeriksaan fisik banyak diagnosis PAK bisa ditegakkan di klinik perusahaan. Klinik perusahaan tidak melaporkan kasus PAK yang terdiagnosis ke BPJS KK dan Disnaker kemungkinan karena berbagai alasan antara lain adalah : (1) klinik memberikan laporan kepada pihak pemberi kerja namun pemberi kerja tidak meneruskan laporan tersebut ke BPJS KK dan Disnaker, (2) klinik sendiri tidak  membuat laporan PAK tersebut. Pihak pemberi kerja tidak melaporkan PAK kemungkinan untuk menghindari “stigma” negatif terhadap PAK atau karena ingin mempertahankan predikat “zero accident”.
Klinik tidak melaporkan kemungkinan karena menganggap PAK cukup ringan dan dapat diatasi di klinik seperti misalnya kasus kelelahan akibat kerja, stress akibat kerja dan myalgia atau nyeri otot sendi akibat kerja.
·         Kasus PAK di Layanan primer yang Tidak Dilaporkan
Kasus PAK pada tingkat layanan primer diluar klinik perusahaan yang tidak dilaporkan dapat disebabkan (1) klinik/layanan primer tidak mengetahui bahwa PAK harus dilaporkan dan klaim akan pindah ke BPJS KK  (2) Klinik/layanan primer secara administasi melapor ke Dinas Kesehatan sehingga klinik/layanan primer merasa sudah memenuhi kewajiban administrasinya (3) Klinik/layanan primer tidak mau melaporkan PAK karena dapat merepotkan pasien dan pelayanan karena prosedur pembiayaan yang berbeda antara BPJS Kesehatan dan BPJS KK. 
Untuk layanan primer yang sudah bekerjasama dengan BPJS KK sebagai trauma centre, proses pelaporan kasus PAK seharusnya tidak bermasalah
·         Kasus PAK di Rumah sakit yang Tidak Dilaporkan
Administrasi pelaporan antara layanan primer dan Rumah Sakit tidak terlalu berbeda sehingga penyebab PAK tidak dilaporkan tidak jauh berbeda.
Dalam satu diskusi dengan salah satu dokter Rumah sakit kami menangkap bahwa dokter menyimpan kasus “diduga PAK” karena beranggapan akan merepotkan pasien, karena BPJS kesehatan akan mencoret klaim sementara mereka belum mendapat informasi yang lengkap tentang peralihan penanggung menjadi BPJS KK.
Pada fasilitas kesehatan yang bukan trauma centre proses peralihan ini juga membutuhkan keterlibatan perusahaan maupun keluarga karena sistem penggantian yang tidak langsung. Proses peralihan ini dapat memakan waktu pelayanan sehingga dokter maupun tenaga medis lainnya “menyimpan” adanya dugaan PAK.
·         Provider MCU
Ditingkat provider MCU laporan hasil pemeriksaan diberikan kepada manajemen perusahaan sehingga perusahaan dapat meneruskan klaim PAK ke BPJS KK dan Disnaker.  Pengalaman penulis sebagai konsultan provider MCU, dengan pelaksanaan MCU seperti yang banyak dilakukan saat ini, dokter atau petugas kesehatan sering ragu untuk menetapkan PAK karena data pajanan yang kurang lengkap dan sering meragukan.
b.      Kasus PAK yang Tidak terdiagnosis
·         Kasus PAK yang Tidak Terdiagnosis di Klinik perusahaan
Pada tingkat klinik perusahaan PAK tidak terdiagnosis karena beberapa hal (1) tenaga medis tidak kompeten dalam melakukan diagnosis PAK, (2) sarana untuk melakukan diagnosis PAK tidak memadai.
Beberapa PAK yang sudah familiar mungkin tidak terlalu sulit untuk diketahui diagnosisnya namun terdapat kasus PAK yang cukup sulit dan membutuhkan rujukan lebih lanjut sehingga belum dapat ditegakkan pada tingkat perusahaan. Pada kasus sulit seperti ini butuh komitmen yang kuat dari pihak pemberi kerja untuk memberikan dukungan agar PAK dapat di tegakkan. Hal lain yang mungkin terjadi adalah bahwa petugas tidak mengenal betul risiko yang ada di tempat kerja sehingga terlambat mengenali  gejala PAK pada pekerja.
·         Kasus PAK yang Tidak Terdiagnosis di Layanan Primer
Kasus PAK ditingkat layanan primer dapat terdiagnosis dengan beberapa alasan antara lain (1) Petugas kesehatan tidak mengetahui PAK (2) petugas kesehatan tidak memiliki kompetensi dalam menegakkan PAK (3) sarana untuk menegakkan diagnosis terbatas (4) data yang dapat digunakan untuk mendukung diagnosis terbatas. 
Dalam praktek kedokteran sehari hari dan dengan beban jumlah pasien yang banyak, sangat mungkin dokter atau petugas kesehatan tidak mengetahui bahwa pasien menderita PAK karena kasus PAK sulit ditegakkan tanpa wawancara yang mendalam. Dalam hal ini maka inisiatif dari pekerja untuk menjelaskan latar belakang pekerjaan menjadi sangat penting. Tanpa informasi yang cukup lengkap petugas kesehatan pada tingkat layanan primer akan mengalami kesulitan dalam menegakkan diagnosis PAK.
Beberapa PAK membutuhkan kompetensi khusus dalam penegakkan diagnosisnya seperti pneumokoniosis yang mengharuskan dokter memiliki sertifikat ILO radiograf dalam penegakkannya. Selain itu sarana yang tersedia pada fasilitas layanan primer sering belum memadai untuk menegakkan PAK.
·         Kasus PAK yang tidak terdiagnosis di Rumah Sakit
Sebagian permasalahan pada fasilitas pelayanan primer juga dialami oleh Rumah sakit namun dalam hal sarana rumah sakit lebih lengkap. Dalam satu diskusi dengan sejawat kami mendapatkan informasi bahwa tenaga kesehatan di RS kesulitan menegakkan diagnosis PAK karena adanya dualisme sistem pembiayaan. Ketika suatu gejala dicurigai akibat kerja dan membutuhkan pemeriksaan lanjutan maka pihak BPJS Kesehatan tidak mau menanggung proses pemeriksaan yang akan mengarah pada kemungkinan PAK. Dilain pihak karena belum terdiagnosis sebagai PAK maka pihak BPJS KK juga belum mau memberikan jaminan pembiayaan proses tersebut. Dalam kondisi seperti ini maka tenaga medis biasanya hanya berhenti pada terapi kondisi kesehatan yang ditemukan tanpa menyelidiki lebih lanjut kemungkinan penyebab penyakit.
·         Provider MCU
Penyelenggara MCU sendiri masih sangat beragam mulai dari klinik kecil dengan penyelenggaraan dan pemeriksaan yang sangat sederhana sampai pada penyelenggara yang memiliki fasilitas dan sistem pelaporan yang baik. Pengetahuan tentang PAK juga sangat berbeda di antara penyelenggara tersebut. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah pelaksanaan MCU yang bersifat massal dapat mengurangi ketajaman dan kedalaman wawancara dengan pekerja terkait pajanan di tempat kerja sehingga PAK sulit ditegakkan.

Gambar 2.  Ringkasan Permasalahan Diagnosis PAK di Berbagai Fasilitas Kesehatan

 


KESIMPULAN
1.      Belum adanya koordinasi antara  Dinas kesehatan, BPJS KK dan Dinas ketenagakerjaan sehingga timbul gap yang cukup besar dalam jumlah kasus PAK yang dilaporkan Kemenkes dengan pengajuan klaim BPJS KK.
2.      Kasus PAK tidak dilaporkan kemungkinan disebabkan petugas kesehatan yang tidak mengetahui bahwa PAK harus dilaporkan dan mendapat tanggungan pembiayaan dari BPJS KK, pelaporan dianggap menyulitkan dari segi administrasi dan pembiayaan serta keraguan akan data pendukung
3.      Kemungkinan perusahaan tidak mau melaporkan PAK karena kekhawatiran “stigma negative” dan tidak tercapainya “zero accident” 
4.      Kasus PAK yang tidak terdiagnosis kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan, kompetensi dan sarana pendukung diagnosis.
5.      Ketidak jelasan penanggung biaya dalam proses penegakkan diagnosis PAK menjadi kendala dalam diagnosis PAK terutama di level rumah sakit rujukan
6.      Pada fasilitas kesehatan yang bukan trauma centre dibutuhkan inisiatif yang kuat dari pekerja dan pemberi kerja dalam penegakkan PAK

SARAN
1.      Koordinasi antara Kemenkes, kemenaker dan BPJS KK dalam manajemen PAK 
2.      Kepada pihak BPJS KK
·    Memberikan sosialisasi lebih luas kepada seluruh penyelenggara pelayanan kesehatan, pekerja dan pihak pemberi kerja tentang adanya jaminan asuransi PAK
·         Membuat sistem pelayanan dan pembiayaan yang lebih sederhana
·         Memberikan pedoman coverage  proses penegakkan dugaan PAK
3.      Pihak Kemenaker
·        Memberikan sosialisasi pentingnya penegakkan PAK dalam pencegahan kasus selanjutnya
·        Memberikan dukungan bagi perusahaan yang membuat laporan PAK
·   Memberikan sosialisasi pada PJK3 penyelenggaran pemeriksaan kesehatan pekerja mengenai PAK
4.      Pihak Kemenkes
·         Memberikan sosialisasi dan edukasi penegakkan PAK bagi tenaga medis
·         Memberikan pedoman rujukan dan kompetensi penegakkan diagnosis PAK
5.      Pihak Pemberi Kerja / perusahaan
·         Memberikan sosialisasi tentang PAK pada pekerja
·     Melibatkan tenaga medis dalam pembuatan analisa resiko kesehatan sehingga memudahkan dalam mengenali PAK
·        Memberikan dukungan dalam proses penegakkan PAK pada pekerja
·   Melakukan perencanaan yang lebih baik pada saat penyelenggaraan MCU dengan menyiapkan analisa risiko kesehatan dan pengelompokan pekerja dengan pajanan yang serupa secara lebih rinci dan terukur