I
PENDAHULUAN
Bekerja bagi
sebanyakan orang merupakan bagian dimana kehidupan tersebut berarti. Tujuan kehidupan, pencarian jati diri dan
kemampuan untuk pemenuhan terhadap seluruh kebutuhan hidup tersandar pada kata
bekerja. Kehilangan kemampuan bekerja akan membuat kehilangan sebagian besar
dari jalannya kehidupan seseorang.
Pada satu kondisi oleh karena penyakit ataupun
kecelakaan, kemampuan bekerja sesorang
dapat berkurang ataupun hilang sama sekali baik untuk sementara ataupun
selamanya. Maka tugas dokter tidak hanya merawat penderita melewati akibat
penyakit atau kecacatan. Lebih dari itu adalah mengantar penderita untuk
mencapai kemampuan tertinggi yang dapat ia capai setelah terjadinya penyakit
atau trauma. Pada beberapa kondisi, kembali bekerja bukan merupakan sebuah
masalah besar. Setelah gangguan kesehatan di tatalaksana dengan mudah penderita
dapat kembali pada kondisi kesehatan semula atau bahkan lebih baik. Namun ada
beberapa kondisi yang memiliki kebutuhan khusus untuk kembali pada keadaan
semula dan kembali dapat bekerja, infark miokard salah satunya. Pada infark
miokard permasalahan tidak hanya terbatas pada memulihkan kondisi setelah
serangan, namun lebih jauh adalah bagaimana memelihara kondisi agar tidak
terjadi serangan ulang dan merubah sikap dan gaya hidup sehingga mengurangi risiko terhadap berulangnya
penyakit.
Infark miokard merupakan nekrosis miokard akibat
aliran darah ke otot jantung terganggu. Hal ini terjadi akibat penyumbatan
total arteri koronaria oleh thrombus yang terbentuk pada plaque aterosklerosis
yang tidak stabil dan juga sering mengikuti rupture plaque pada arteri koroner.
Terjadinya nekrosis pada otot jantung menyebabkan terganggunya suplay oksigen
dan bahan makanan ke seluruh tubuh yang mengakibatkan terjadi kelemahan umum di
seluruh sel dan jaringan.
Kembali bekerja paska infark mikard merupakan
faktor yang penting, bukan hanya pengaruhnya teradap fisik tetapi juga terhadap
status emosional. Bagaimanapun hanya 50 – 80 % penderita yang mampu kembali
bekerja paska infark myokard ataupun operasi jantung dan dalam 2 tahun jumlah
ini akan berkurang sebesar 10 – 15 %. Tulisan ini bertujuan
untuk membahas tentang langkah-langkah yang dilakukan untuk menentukan kelaikan
penderita untuk dapat bekerja kembali paska infark miokard.
II
INFARK MIOKARD DAN DAMPAK FAKTOR RISIKO
DI TEMPAT KERJA
2.1
DEFINISI
Infark
adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan
oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau
embolus. Infark Miokard Akut adalah
nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung yang terganggu[1]. Hal
ini bisa disebabkan trombus arteri koroner oleh ruptur plak yang dipermudah
terjadinya oleh faktor-faktor seperti hipertensi, merokok dan hiperkolesterolemia
Pada 25% episode IMA kematian terjadi
mendadak dalam beberapa menit setelah serangan, karena itu banyak yang tidak
sampai ke rumah sakit. Mortalitas keseluruhan 15-30%. Risiko kematian
tergantung pada faktor: usia penderita, riwayat penyakit jantung koroner,
adanya penyakit lain-lain dan luasnya infark. Mortalitas serangan akut naik
dengan meningkatnya umur. Kematian kira-kira 10-20% pada usia dibawah 50 tahun
dan 20% pada usia lanjut.
2.2
DAMPAK
FAKTOR RISIKO DI LINGKUNGAN KERJA
2.2.1 Faktor fisik
- Suhu ekstrim. Adanya suhu ekstrim seperti suhu yang sangat tinggi akan meningkatkan respon terjadinya aritmia baik pada individu normal apalagi pada pekerja yang telah memiliki gangguan jantung. Suhu ekstrim dingin dapat menyebabkan spasme koroner yang dapat mengurangi perfusi jantung sehingga akan sangat berbahaya bagi pengidap gangguan jantung koroner untuk bekerja di tempat ekstra dingin.
- Bising. Bising di tempat kerja dalam kurun waktu yang akan meningkatkan tekanan darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya gangguan jantung.
- Getaran. Baik getaran segmental maupun getaran seluruh tubuh dapat berdampak pada gangguang arteri dan kardiovaskular system.
- Aktifitas fisik. Pekerjaan sedentary atau pekerja tidak aktif secara fisik memiliki risiko 2 kali untuk mendapat serangan jantung dibanding pekerja yang aktif secara fisik. Namun pekerjaan fisik berat (sekitar 6 METs) yang dilakukan secara tidak teratur dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan jantung pada 1 jam pertama.[2]
2.2.2 Faktor kimia
- Carbon disulfide digunakan sebagai pelarut pada beberapa industri. Carbon disulfide diserap melalui inhalasi dan melalui kulit. Level pajanan yang dilaporkan terkait dengan gangguan kardiovaskular adalah 20-60 ppm. Saat ini level pajanan yang diijinkan adalah 4 ppm.
- Carbon monoksida. CO terikat sangat agresif pada hemoglobin sehingga menurunkan hantaran oksigen ke jaringan termasuk myocardium. Pajanan CO yang tinggi jarang terjadi di lingkungan kerja, contoh lingkungan dengan kemungkinan pajanan CO tinggi adalah pemadam kebakaran atau penggunaan diesel pada confined space. Hasil pembakaran organik di industri biasanya menghasilkan kadar CO sekitar 2-8 %, dimana sebagai pembanding adalah kadar CO pada hasil pembakaran rokok adalah 5-15%.
- Pelarut. Beberapa pelarut yang terkait dengan gangguan jantung antara lain bromofluorocarbons, methyl chloroform, methylene chloride, and trichloroethylene.Sejumlah kasus kematian mendadak dilaporkan terkait dengan pajanan pelarut dalam jumlah besar , pajanan rendah tidak menunjukkan adanya kenaikan risiko gangguan kardiovaskular.
- Timbal. Dilaporkan bahwa pajanan timbal dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah. Dua kali kenaikan level timbal dalam darah terkait dengan kenaikan 1mm tekanan sistolik dan 0,6 mm tekanan diastolik.
- Arsen. Pajanan arsen akut dapat menyebabkan kelainan EKG dan ventrikel fibrilasi yang rekuren. Gas arsen dapat menyebabkan hemolisis dan gagal jantung. Pajanan arsen subkronis dilaporkan terkait dengan kardiomyopati dan gagal jantung.
2.2.3 Psikososial
Di awal tahun 1958 barulah
mulai diketahui bahwa pajanan stress dan ketegangan kerja lebih besar pada
pekerja muda yang mengalami penyakit jantung koroner dibanding populasi sehat.
Bersamaan dengan itu Friedman dan koleganya mempublikaskan penemuan tentang
adanya hubungan yang signifikan antara konsentrasi serum kolesterol dengan
waktu pembekuan darah dan variasi siklus stress pada kelompok akuntan.
Karasek mengenalkan konsep
job strain model yang menjelaskan bahwa ketegangan akan muncul bila
kebutuhan-kebutuhan psikologis di tempat kerja tinggi bersamaan dengan rendahnya kebebasan untuk
mengambil keputusan. Hitehall juga melaporkan
tentang efek rendahnya penghargaan dibanding prestasi yang dilakukan
dimana kejadian penyakit jantung koroner lebih tinggi pada pekerja yang
mendapat penghargaan yang tidak memadai dengan pekerjaan yang dilakukan. Yang
terakhir adalah tentang tingginya kejadian penyakit jantung koroner pada
pekerja shift. Hal ini terjadi melalui 3 mekanisme yaitu terganggunya irama
sirkadian, tergangguanyahubungan sosial dan perubahan perilaku.
2.3 KEMBALI BEKERJA
Banyak faktor berpengaruh terhadap
kemungkinan kembalinya ke pekerjaan semula paska infark miokard. Faktor-faktor
yang dapat menjadi penghalang kembali ke pekerjaan sebelumnya antara lain
status pekerjaan sebelumnya, pendidikan, usia, angina pada aktifitas, durasi
tanpa bekerja, kecemasan dan adanya depresi.
Pada kasus infark miokard maka penilaian uji
treadmill merupakan bagian yang sangat penting dalam penentuan kembali kerja.
Konsep penting dalam uji treadmill adalah metabolic equivalent (MET) system . Satu MET setara dengan
konsumsi oksigen dalam kondisi duduk istirahat di ruangan dalam suhu dan
kelembaban normal. Nilai normal dari 1 MET adalah 3,5 ml oksigen perkilogram
berat badan permenit. Setiap aktifitas yang dilakukan membutuhkan jumlah
oksigen atau energi tertentu. Kemampuan latihan maksimum dapat diprediksi dari
jumlah MET yang didapat pada uji treadmill.
Beberapa studi dan pedoman menganjurkan bahwa
individu yang memiliki kapasitas untuk melakukan suatu pekerjaan secara
terus-menerus misalnya selama delapan jam dengan waktu istirahat tertentu maka
ia sedikitnya melakukan 40% dari level maksimal MET nya. Ia juga diharapkan dapat melakukan 15 menit 1 atau 2 kali sehari aktifitas yang
membutuhkan 80% dari level MET maksimal nya.
Sebagai contoh jika seseorang dapat mencapai latihan
fisik dengan treadmill 10 MET secara aman dan kebutuhan aktifitas pekerjaannya
secara terus-menerus membutuhkan 2,5 METs dan periode singkat aktifitas 5 METs,
maka orang tersebut dianggap mampu untuk melakukan pekerjaan yang dibutuhkan.
Pengukuran penting lainnya dalam memperkirakan
ketidakmampuan di bidang jantung adalah ejection
fraction. Pengukuran dilakukan menggunakan angiographic left ventriculography dengan pengukuran tekanan.
Aturan umum yang digunakan adalah dikatakan normal bila ejection fraction lebih dari 50%, dinyatakan disfungsi ringan
bila ejection
fraction 40%-50% , disfungsi sedang bila ejection fraction 30%-40% dan disfungsi berat bila ejection fraction kurang dari 30%.
Table
1. Kebutuhan fisik, energy dan aktifitas
[3]
Level aktifitas
|
Kebutuhan energy (METs)
|
Contoh pekerjaan
|
Aktifitas rumah tangga
|
Aktifitas rekreasi
|
Kondisi fisik
|
sedentary
|
1,5 – 2,1
|
Administrasi, bartender, pengemudi truk, operator
crane
|
Mencuci, berpakaian, menulis mengendarai
|
Billiard, memancing, golf, berbelanja
|
Berjalan 2 mil/jam, sepeda static, senam sangat
ringan
|
Ringan
|
2,2 – 3,5
|
Mengelas, bertukang, reparasi mobil, merakit
mesin, (ringan)
|
Mengecat, menyapu, membersihkan rumah, mengepel
lantai
|
Menari, golf, melaut, tenis ganda
|
Berjalan 3-4 mil/jam, bersepeda 6-8 mil/jam, senam
ringan
|
Sedang
|
3,6 – 6,3
|
Bertukang, alat pneumatic, menyekop
|
Berkebun, menaiki tangga perlahan, memotong rumput
|
Bulutangkis, tenis tunggal, basket, sepak bola,
|
Berjalan 4-5 mil/jam, bersepeda 9-10 mil/jam,
Renang gaya dada
|
Berat
|
6,4 - 7,5
|
Menggali parit, menyelop
|
Menggergaji kayu
|
Berkanu, memanjat gunung,
|
Jogging 5 mil/jam, bersepeda 12 mil/jam,
mendayung, renang gaya
|
Sangat
berat
|
>7,5
|
Pekerjaan berat dan menebang pohon
|
Menaiki tangga cepat, Menyekop salju keras
|
Squash, ski
|
Berlari > 6 mil/jam, bersepeda >13 mil/jam,
lompat tali
|
Table 2. Kelas Fungsional
berdasarkan New York Heart Association[4]
Kelas
|
Deskripsi
|
I
|
Tidak ada
batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan fatigue,
palpitasi, atau dispnea yang tidak
semestinya
|
II
|
Sedikit
keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat beristirahat, tapi aktivitas fisik
biasa menghasilkan fatigue, palpitasi, atau dispnea
|
III
|
Ditandai
keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tapi aktivitas yang
lebih sedikit dari biasa mengakibatkan fatigue, palpitasi atau dispnea
|
IV
|
Tidak dapat
melakukan aktivitas fisik dengan nyaman. Gejala-gejala insufisiensi kardiak
pada istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan, ketidaknyamanan bertambah
|
Tabel 4. Kriteria derajat impairmen pada penyakit
jantung koroner berdasarkan AMA7
Kelas
I: 0%-10%
|
Kelas
II : 10%-29%
|
Kelas
III : 30%-49%
|
Kelas
IV : 50%-100%
|
Individu
dengan gejala angina pectoris samar-samar
dan pada uji angiografi atau individu yang melakukan angiografi karena
alasan lain dan sedikitnya terdapat 50% penurunan area cross sectional pada
arteri koroner dengan EF normal
|
Riwayat
IM atau angina tapi saat diperiksa tidak menunjukkan adanya gejala saat
aktifitas biasa atau aktifitas sedang berat (kelas fungsional I)
Dan
Mungkin
membutuhkan penyesuaian diet atau obat untuk mencegah timbulnya angina
Dan
Pada
uji treadmill mencapai 90% prediksi maksimal HR tanpa muncul ST depresi atau
hipotensi
Atau
Telah
dilakukan pembedahan atau angioplasty, asimtomatok pada aktifitas harian,
dapat mencapai sedikitnya 7 METs
|
Riwayat
IM atau angina yang pada EKG istirahat menunjukkan ischemia
Atau
Terdapat
sedikitnya 50% obstruksi arteri koroner
Dan
Membutuhkan
penyesuaian diet sedang atau obat untuk mencegah angina tapi dapat terkena
angina pada aktifitas sedang berat (kelas fungsional II) METs >5 tapi<7
Atau
Telah
dilakukan pembedahan atau angioplasty dan terus membutuhkan terapi dan
memiliki gejala di atas
|
Riwayat
MI pada EKG istirahat
Atau
Terdapat
sedikitnya 50% obstruksi koroner
Dan
Membutuhkan
penyesuaian diet sedang atau obat untuk mencegah angina tapi tetap
menunjukkan gejala angina pada aktifitas sehari-hari (kelas fungsional
III-IV), METs<5
Atau
Telah
dilakukan pembedahan atau angioplasty dan terus membuthkan obat da memiliki
gejala diatas
|
III
PENILAIAN
LAIK KERJA PASCA INFARK MIOKARD
Dalam bidang okupasi terdapat beberapa
tahapan penilaian yang harus dilakukan dalam menentukan kelaikan kembali
bekerja. Langkah-langkah tersebut adalah :
- Deskripsi Pekerjaan atau Tugas (Job Description)
- Tuntutan Pekerjaan (Job Demand)
- Kondisi Kesehatan (Status Medis)
- Penetapan Status Kecacatan
- Kemungkinan Membahayakan Diri Sendiri, Rekan Kerja atau Lingkungan
- Toleransi
- Status kelaikan kerja
Untuk memudahkan uraian mengenai tahapan penilaian
kembali bekerja maka akan di sajikan sebuah kasus infark miokard post PTCA pada pekerja pengelas baja stainless.
Pekerja laki-laki berusia 48 tahun mengeluhnya nyeri
dada, berdebar, lemas dan berkeringat dingin saat melakukan pekerjaan sebagai
pengelas baja stainless. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, uji treadmill dan
echocardiografi, penderita di diagnosis menderita infark miokard akut dan
dilakukan tindakan PTCA.
Dua minggu
setelah tindakan PTCA pekerja mulai masuk untuk bekerja namun hanya melakukan
pekerjaan administrasi selama 4 jam di tempat kerja. Empat minggu kemudian pekerja mulai dapat masuk 8
jam perhari sebagai pengatur administrasi barang di gudang. Setelah 6 bulan
PTCA manajemen perusahaan ingin mengembalikan pekerja ke pekerjaan semula
sebagai pengelas baja stainless.
Langkah-langkah penilaian kembali bekerja pada Pekerja
di atas sebagai berikut.
- Deskripsi Pekerjaan3.1.1 Uraian tugasPekerja adalah pengelas baja stainless yang bekerja dalam satu regu proyek pembuatan mesin. Dalam 1 regu terdapat seorang desainer mesin, pengelas, penggerinda, QC dan supervisor. Pengelas bertugas memotong potongan lembar baja stainless dan kemudian menyambung sesuai dengan desain yang dibutuhkan. Pekerja bertanggung jawab langsung pada supervisor proyek. Dalam melakukan pekerjaan P tidak terhubung dengan publik. Pada pembuatan mesin yang sangat besar dan membutuhkan perakitan di tempat klien maka pekerja juga harus berangkat ke tempat klien baik di luar maupun di dalam negeri.Area kerja merupakan ruang berukuran 100 x 250 x 8 meter dengan ventilasi yang baik namun terdapat sumber panas yang berasal dari mesin las. Pekerja bebas beristirahat atau minum di sela-sela pekerjaan. Pekerja terkadang harus bekerja di ketinggian sesuai dengan ketinggian mesin yang dibuat. Pada beberapa bagian mesin yang berbentuk tangki maka ada kemungkinan pekerja juga harus bekerja di dalam tangki yang merupakan confined space.
Pekerjaan dimulai jam
07.00 pagi kemudian istirahat jam 12.00-13.00 dan meneruskan pekerjaan
sampai jam 16.00.
Pekerja menuju tempat kerja menggunakan motor dengan waktu perjalanan sekitar 5 – 10 menit
3.1.2 Aktivitas
sebagai pengelas :
- Tiba di tempat kerja dan menyiapkan peralatan dan pakaian kerja.
- Mengambil dan meletakkan lembar stainless sesuai desain
- Menghidupkan aliran listrik
- Melakukan pengelasan pada sambungan sesuai desain (pengelasan terbanyak adalah tipe gas tungsten arc welding dan gas metal arc welding)
- Mematikan aliran listrik
- Merapikan peralatan kerja
3.1.3 Alat pelindung
diri yang digunakan :
- Sarung tangan terbuat dari kulit halus
- Sepatu safety
- Baju seragam
- Welding helmet
- Masker dengan filter untuk fume
Gambar 1 –
4 . Proses kerja pembuatan mesin di bagian pengelasan
Gambar 5. Ruangan kerja / area pengelasan
3.1.4 Bahaya potensial
Table 5. Bahaya potensial pekerjaan sebagai pengelas
Urutan kegiatan
|
Bahaya potensial
|
Gangguan kesehatan yang mungkin
|
Risiko kecelakaan kerja
|
||||
Fisik/Mekanik
|
Kimia
|
Biologi
|
Ergonomic
|
psikososial
|
|||
Menggunakan pakaian kerja
Menyiapkan peralatan
Mengambil lembar stainless steel
Menghidupkan aliran listrik
Melakukan pengelasan (GMAW, GTAW)
Mematikan aliran listrik
Merapikan peralatan kerja
|
MEM
UV, infra merah, suhu tinggi,
vibrasi
|
Welding fume (Cr, Ni, Mn), NO2,
CO, CO2, O3, argon
|
Tepi tajam,
Load berat (3-30 kg)
Membungkuk dan twisting
Posisi kaku, statis pergelangan
tangan, siku, bahu, punggung, lutut, confined spaces, ketinggian
|
myalgia
LBP
iritasi mata, kulit,
fotokeratitis, saluran napas, kanker saluran napas, kerusakan hepar dan
ginjal
asfiksia, katarak, myalgia LBP,
CTS, dehidrasi
Metal fume fever
Asfiksia
|
Tersandung lilitan kabel,
kesetrum, ledakan gas
Teriris tepi stainless
Tersengat aliran listrik
Terjatuh
|
- Tuntutan Pekerjaan (Job Demand)Berdasarkan deskripsi pekerjaan diatas maka tuntutan pekerjaan dari berbagai aspek meliputi:
- Kapasitas Fisik : pekerjaan mengelas dapat digolongkan dalam pekerjaan kebutuhan kerja kategori ringan dimana metabolic equivalen untuk pekerjaan tersebut 2,2 - 3,4. Bila untuk dapat melakukan pekerjaan terus-menerus selama 8 jam membutuhkan sekitar 40% dari level METs yang dimiliki maka yang dibutuhkan adalah pengelas yang memiliki METs berkisar antara 6-9 METs. Pekerja juga harus mampu terus-menerus memegang tangkai las seberat 3 kg dan terkadang dalam regu turut mengangkat lembar baja stainless sampai seberat 30 kg.
- Mobilitas : selama melakukan pekerjaan pekerja diharapkan mampu berjalan sekitar 2 mil/ jam (3 METs) dan duduk dan berdiri tanpa bantuan dan keluhan. Pekerja juga harus mampu untuk menaiki tangga (3,6 – 6,3 METs) sehingga diharapkan pekerja memiliki METs dengan kisaran 40%xMETs adalah 3,6 dan 80% METs adalah 6,3. Sehingga pekerja minimal memiliki METs dalam kisaran 9 METs.
- Penginderaan : dapat mengenali perubahan suhu (sensitifitas kulit baik), mendengar percakapan normal dan visus minimal 6/18 dengan atau tanpa koreksi
- Keseimbangan : dapat berdiri, berjalan, duduk dan berpindah posisi tanpa gangguan
- Keterampilan motorik : dapat menggenggam tangkai las dengan erat dan mengarahkan tangkai las ke posisi materi yang akan di las dengan tepat
- Kesiapan menghadapi emergensi : dapat berlari dan mengenali arah keluar tanpa keluhan dengan tenang
- Komunikasi : mampu melakukan komunikasi dengan rekan sekerja dengan baik, mampu memberikan informasi dan mengerti informasi serta melakukan perintah
- Aspek Mental. Pekerja mampu melaksanakan perintah, mampu menghadapi tuntutan pekerjaan tanpa keluhan berarti
- Aspek Organisasi. Pekerja mampu bekerja dalam tim3.2.12 Aspek Lingkungan Kerja. Pekerja mampu bekerja di tempat ketinggian dengan stabil dan menggunakan alat pelindung diri yang dibutuhkan. Pekerja juga harus mampu sesekali berada dalam confined space dan mampu memberikan tanda bahaya bila terjadi tanda atau gejala kekurangan oksigen (Ejction fraction normal / >50%). Pekerja juga harus mampu melakukan perjalanan jauh lewat darat, laut ataupun udara. (6 METs)
3.2.13 Aspek Temporal. Pekerja
mampu bekerja sedikitnya 8 jam sehari dengan masa istirahat selama 1 jam.
3.2.14 Aspek Ergonomi. Pekerja
mampu beradaptasi dengan desain tempat kerja. Dapat melakukan gerakan
menggenggam, memfokuskan tangkai las, membungkuk, jongkok, duduk dan berdiri
sesuai dengan kebutuhan pekerjaan tanpa keluhan
3.3 Kondisi Kesehatan Pekerja
3.3.1
Anamnesis (6 bulan setelah PTCA)
Selama
3 bulan terakhir pekerja tidak pernah lagi merasakan nyeri dada, sesak, mudah
lelah atau keluhan lainnya. Pekerja dapat melakukan lari di sore hari sekitar
15 menit tanpa keluhan serta dapat bepergian menggunakan motor. Pekerja
juga dapat naik dan turun tangga sekitar 15 – 20 anak tangga tanpa keluhan. Pekerja tidak merokok dan
terus meminum obat sesuai anjuran dokter secara teratur. Dan seluruh keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan
sebelumnya dapat dilakukan tanpa adanya perubahan atau gangguan.
3.3.2
Pemeriksaan fisik
TD
: 140/80 mmHg
HR
: 83 x/menit
Jantung
dan paru dalam batas normal
Gerakan
motorik dan tonus otot dalam batas normal
3.3.3
Laboratorium
Total
kolesterol : 127 mg/dl
HDL
kolesterol : 41 mg/dl
LDL
kolesterol : 85
Trigliserida
: 78 mg/dl
3.3.4
Hasil treadmill terakhir :
Fungsional
class : I
Fitness
class : cukup
Kelas
aerobic : 10,17 METs
3.3.5
Hasil Echocardigrafi
Normal
EF
> 50%
3.3.6
Hasil pemeriksaan spirometri
FVC
: 3,37 L (105%)
FEV1
: 2,80 L (106%)
FEV1/FVC
: 83,0% (97%)
3.3.7
Hasil pengisian kuesiner SDS (stress diagnosis survey)
Tidak
menunjukkan adanya stress dalam pekerjaan
3.3.8 Terapi :
Flavix 1x1 tab
Ascardia 1x80 mg
Maintate 1x5 mg
Atorsan 1x20 mg
Notrocaf retard 3x1
- Penetapan Status Kecacatan
3.4.1 Impairment
: rawayat infark miokard pasca PTCA dan
berdasarkan American Medical Association (AMA) termasuk dalam gangguan jantung akibat
miokard infark kategori kelas II (10% - 29%)
3.4.2 Disability : tidak ada
3.4.3 Handicap : tidak ada
3.5 Kemungkinan Membahayakan Diri Sendiri, Rekan
Kerja atau Lingkungan
Dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tidak terdapat gejala
dan tanda yang menunjukkan pekerja memerlukan kebutuhan khusus yang membutuhkan
penyesuaian lingkungan dan rekan kerja lainnya. Tidak ditemukan pula adanya
kecenderungan untuk membahayakan diri sendiri ataupun rekan kerja lainnya
3.6 Toleransi
Pekerja
menunjukkan keinginan untuk kembali bekerja ditunjang oleh dukungan atasan dan
rekan kerja yang siap untuk menerima kembali pekerja bergabung dalam proyek
pekerjaan.
3.7 Status Kelaikan Kerja
dari hasil pemeriksaan di atas dapat disimpulkan bahwa pekerja mampu untuk
melakukan pekerjaan semula dengan tidak mempengaruhi kondisi medis. Hal
tersebut berdasarkan pertimbangan :
- Pekerja merupakan penderita infark miocard pasca PTCA tanpa keluhan subyektif saat ini.
- Berdasarkan deskripsi pekerjaan dan lingkungan kerja, maka kapasitas fisik yang dibutuhkan adalah pekerja yang tidak mempunyai keluhan subyektif, memiliki METs sedikitnya 6, kelas fungsional I dan berisiko kecil untuk terjadinya infark ulang
- Kondisi pekerja saat ini, tanpa keluhan, hipertensi grade I, dari hasil treadmill diketahui METs 10,17, kelas fungsional I dan berisiko kecil untuk terjadinya serangan ulang serta tidak ada kecenderungan strees akibat kerja
- Tidak terdapat penolakan ataupun hambatan dari pekerja, atasan, rekan kerja maupun lingkungan kerja terhadap kemungkinan kembali bekerja seperti semula sebagai pengelas baja stainless.Status ini akan ditinjau kembali dalam masa 3 bulan untuk melihat efektifitas kerja dan kemungkinan ada keluhan terkait dengan pekerjaan.Beberapa hal yang perlu disarankan untuk pekerja adalah :
- Terus melakukan latihan fisik dengan intensitas rendah sampai sedang 3 – 5 kali perminggu. Latihan yang dapat dilakukan antara lain jalan cepat dan berenang.
- Menjaga asupan makanan agar memperbanyak konsumsi buah dan sayur dengan porsi 5 porsi perhari
- Mengontrol tekanan darah agar tidak melebihi 140/90 mm Hg
IV
DISKUSI
REVIEW KEPUSTAKAAN
- Westaby S, Sapsford RN, Bentall HH dari penelitian di Inggris melaporkan tentang kembali bekerja dan kualitas hidup 6 bulan pasca operasi pada penderita penyakit jantung koroner. Dari 130 pekerja penyakit arteri koroner yang menjalani pembedahan, 24 pekerja berat dengan manual handling, 16 (66,7%) dapat kembali bekerja tanpa batasan setelah operasi. Pada pekerja terampil, dari 41 yang menjalani operasi 20 (49,2%) dapat kembali bekerja tanpa batasan. Pada pekerja staf dari 32 yang menjalani operasi 18 (56,3%) dapat bekerja kembali tanpa batasan dan dari 20 responden dari kelompok profesional dan eksekutif , 16 (80%) dapat kembali bekerja tanpa batasan. Secara detail data disajikan di bawah ini :
Sebelum operasi
|
Sesudah operasi
|
||||||
Jumlah P
|
Kerja tanpa batasan
|
Kerja terbatas angina
|
Terpaksa stop kerja
|
Kerja tanpa batasan
|
Kerja terbatas angina
|
Terpaksa stop kerja
|
|
Pekerja berat manual
|
24
|
3
|
21
|
16
|
2
|
5
|
|
Pekerja skill
|
41
|
2
|
15
|
24
|
20
|
4
|
16
|
staf
|
32
|
3
|
13
|
16
|
18
|
8
|
6
|
Profesional, eksekutif
|
20
|
4
|
7
|
9
|
16
|
1
|
3
|
Disimpulkan
bahwa setelah operasi pada penderita gangguan jantung koroner 90% responden
dapat hidup tanpa keluhan dan 70% dapat kembali bekerja seperti biasa. Bahkan
pada pekerja berat manual, sebelum operasi tak satupun dapat bekerja namun
setelah operasi 66,7% dapat kembali bekerja tanpa batasan.8
- Soderman E, Lisspers J, Sundin O melakukan research di Ostersund Swedia tentang pengaruh depresi pada pasien penderita penyakit jantung koroner untuk kembali bekerja. Penelitian dilakukan dengan menilai kembali bekerja dalam kurun waktu 12 bulan baik pada pekerja full time maupun pekerja part time. Responden berjumlah 198 pekerja yang mengalami miokard infark akut (85 responden), 73 responden setelah mendapat operasi (CABG) dan 40 responden setelah mendapat treatmen angioplasti koroner (PTCA).Dilaporkan adanya depresi secara klinis sangat berpengaruh terhadap kembali bekerja setelah 12 bulan pada pekerja full time maupun part time. Pada responden dengan depresi ringan hanya berpengaruh pada pekerja part time. Dilaporkan juga tentang faktor lain untuk kembali bekerja yaitu tingkat pendidikan dan usia. Makin tinggi tingkat pendidikan dan makin muda usia memiliki respon yang lebih bagus untuk kembali bekerja pada responden dengan penyakit arteri koroner.
- Anne E Price dalam Heart diseases and work melaporkan bahwa beberapa issue yang perpengaruh untuk kembali bekerja pada pekerja dengan penyakit jantung koroner adalah :
- Kondisi penyakit jantung yang membuat pekerja berhenti bekerja secara individu.
- Penurunan kapasitas kerja yang terjadi paska serangan infark miokard
- Karakteristik asli individu dan faktor psikososial
Anne menyimpulkan beberapa hasil
penelitian sebagai berikut :
- Bagaimanapun prognosis penyakit, semakin lama berhenti bekerja selama sakit maka semakin sulit untuk kembali bekerja.
- Bila kejadian serangan jantung terjadi di tempat kerja, kembali bekerja akan lebih sulit
- Semakin tua usia, semakin sulit untuk kembali bekerja
- Tipe pekerjaan – bila pekerjaan tampak tidak begitu dihargai maka semakin kecil motifasi untuk kembali bekerja. Kembali bekerja juga semakin sulit bila pekerjaan merupakan pekerjaan dengan risiko tinggi
- Sikap pemberi kerja yang tidak mendukung dapat menghambat kembalinya bekerja pasca serangan infark miokard
- Sikap individu terhadap dirinya sendiri11
- Mira, Sampurna dan Hakim dalam laporannya mengenai Kesiapan Kesehatan Penumpang Airline menyatakan bahwa pasien pada umumnya tidak diperkenankan terbang kalau penyakitnya akan memburuk bila terpapar lingkungan yang hipoksik atau tekanan udara yang rendah. Semakin tinggi dari permukaan laut, tekanan udara akan semakin rendah.Pesawat terbang modern pada umumnya beroperasi pada ketinggian di antara 25.000 kaki sampai 40.000 kaki dengan tekanan dalam kabin yang dipertahankan agar setara dengan tekanan pada ketinggian antara 5.000 kaki - 7.000 kaki, sistem kabin bertekanan pada umumnya dapat mengatasi masalah fisiologis yang timbul pada ketinggian tersebut.
Pada
ketinggian 6.000 kaki tekanan parsial oksigen di alveoli akan turun dari 103
mmHg menjadi 77 mmHg dan saturasi
oksigen akan turun 3%. Penurunan tekanan parsial oksigen ini tidak akan
mengganggu penumpang yang relatif sehat, namun dapat mengganggu penumpang
penderita penyakit yang peka dengan keadaan hipoksia seperti beberapa penyakit
jantung (gagal jantung, infark miokard), anemia berat, gangguan sirkulasi darah
otak, fungsi paru yang kurang baik dan lain-lain. Pasien dengan bronkitis
kronik, emfisema, bronkiektasis dan korpulmonale, mungkin membutuhkan O2 tambahan
selama penerbangan. Gagal jantung yang tidak terkontrol dan infark miokard yang
terjadi kurang dari 6 minggu, adalah kontraindikasi untuk terbang. Penumpang dengan penyakit tekanan darah tinggi
yang berat, diperkenankan mengadakan perjalanan dengan pesawat udara bila yang
bersangkutan minum obat dan sebaiknya tidak mengadakan perjalanan jauh/lama,
karena hipoksia akan menaikkan tekanan darah. Penderita angina pektoris berat
sebaiknya juga tidak melakukan perjalanan udara dan bila terpaksa harus
disediakan oksigen selama perjalanan. Pasien dengan cardiac reserve yang
buruk membutuhkan penilaian yang teliti sebelum diizinkan terbang. Sebagai
petunjuk praktis dapat dikatakan bahwa pasien yang dapat berjalan sejauh 80 m
dan naik 10-12 anak tangga tanpa gejala sesak nafas,
diperkenankan menjadi penumpang pesawat terbang
- Terkait dengan pengaruh pekerjaan dalam confined spaces, studi di Australia menyebutkan bahwa kadar CO berperan dalam terjadinya gangguan jantung pada pekerja. Sebuah studi yang menginvestigasi tentang level karbon monoksida dan COHb pada pekerja di Australia yang bekerja di area indoor (plan perakitan automobil, tambang bawah tanah dan parkir dalam gedung) melaporkan bahwa level CO di area tersebut adalah 12 ppm atau kurang. Pada level tersebut dilaporkan bahwa kadar COHb pada pekerja ditemukan signifikan terhadap pajanan CO. Level COHb yang ditemukan cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan jantung terutama pada pekerja yang telah memiliki gangguan arteri koroner sebelumnya dan yang terpajan asap rokok.12
Price dalam tulisannya tentang kembali bekerja
setelah serangan jantung menyebutkan bahwa pada penderita penyakit jantung
koroner isu terpenting untuk kembali bekerja adalah nyeri dada yang persisten
selama latihan, risiko aritmia dan level fungsi ventrikel kiri khususnya bila terkait dengan kapasitas
latihan. Kapasitas fungsi harus diukur sebelum kembali bekerja disertai dengan
data indikator prognosis.
Pada kasus di atas terdapat beberapa poin penting
dalam penentuan kembali bekerja yaitu :
- Infark miokard sendiri sebagai dasar penyakit yang berpengaruh terhadap kondisi fisik pekerja
- Kondisi fisik, kapasitas kerja serta kondisi mental emosional sesudah infark miokard
- Sifat pekerjaan dengan beberapa risiko khusus seperti temperatur tinggi saat mengelas, proses pengelasan, confined spaces, ketinggian dan kemungkinan bepergian dalam kurun waktu yang cukup lama dalam pesawat terbang.
Pada pekerja di atas, kondisi yang terkait dengan
infark miokard sepertinya sudah dapat teratasi dimana 6 bulan setelah dilakukan
tindakan PTCA keluhan nyeri dada tidak pernah lagi dialami. Kondisi beberapa
faktor yang dapat mencetuskan infark juga tampak terkontrol dimana nilai lemak
darah dalam komposisi yang baik antara nilai HDL dan LDL kolesterol serta pada
echocardiografi menunjukkan bahwa ejection fraction di atas 50%.
Dalam hal kapasitas latihan sesudah infark miokard,
pada pengukuran kapasitas latihan
melalui uji treadmill didapat kapasitas latihan 10,17 METs. Dengan demikian pekerja setidaknya dapat
melakukan pekerjaan dengan kebutuhan energi sekitar 4 METs selama 8 jam terus
menerus. Bila melihat pada tabel kebutuhan energi dan aktifitas maka dengan
kisaran tersebut pekerja dapat mengerjakan pekerjaan dengan tipe sedang seperti
bertukang, menyekop, berkebun, menaiki tangga kecepatan sedang dan berolahraga
bulutangkis atau sepakbola. Pada tabel di atas mengelas dikategorikan sebagai
aktifitas ringan maka bila kebutuhan pada pekerja ini hanya mengelas maka
pekerja secara fisik telah memenuhi kriteria tersebut. Ditunjang dengan tidak
adanya perubahan keterampilan dan kemampuan kerja dibanding sebelum infark
miokard dan secara mental emosional pekerja juga nampak siap untuk kembali ke
pekerjaan semula.
Hal ketiga yang tak kalah penting adalah melihat
secara rinci kebutuhan dan kapasitas kerja yang akan dikerjakan. Seperti
disebutkan di atas terdapat beberapa kondisi dalam proses pengelasan dan
pekerjaan yang membutuhkan kapasitas energi tertentu seperti bekerja di
ketinggian dan menaiki tanggi. Dengan
nilai METs 10,17 bila merujuk pada dalam 15 menit seseorang dapat melakukan 80%
dari nilai METs maka pekerja ini dapat melakukan aktifitas fisik dengan
kebutuhan sekitar 8 METs dalam jangka waktu 15 menit. Aktifitas dengan
kebutuhan 8 METs termasuk dalam aktifitas sangat berat diantaranya menebang
pohon dan menaiki tangga dengan cepat. Dengan demikian pekerja ini akan sanggup
disela-sela pekerjaannya untuk melakukan aktifitas sangat berat selama 15
menit.
Terkait dengan kebutuhan untuk bepergian dengan
pesawat udara dalam jangka waktu yang lama, bila merujuk pada tulisan Mira,
sampurna dan Hakim di atas maka dengan kapasitas latihan 10,17 METs dan kondisi
kardiovaskular stabil, tampaknya pekerja dapat bepergian dengan pesawat dengan
cukup aman.
Dalam hal pekerjaan dalam confined spaces dan suhu
tinggi, dengan ejection fraction di atas 50%, secara fungsional tampaknya
pekerja dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Namun sebaiknya harus dilakukan
komunikasi yang baik dengan pihak perusahaan. Perusahaan harus memiliki standar
operasional yang ketat ketika pekerja akan bekerja di confined spaces. Walaupun
tampaknya pekerja memiliki kapasitas fisik yang prima namun kesiapan
kemungkinan terjadinya berkurangnya kadar oksigen atau meningkatnya kadar CO
dapat membahayakan bagi pekerja yang sehat apalagi pada pekerja yang telah
memiliki riwayat gangguan jantung.
Secara umum pekerja di atas dapat kembali bekerja ke
pekerjaan semula sebagai pengelas. Pekerja diharapkan selalu menjaga kondisi kesehatannya dengan mengendalikan
faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan jantung. Manajemen dalam
hal ini turut serta mengawasi terhadap kemungkinan adanya pajanan di tempat
kerja yang dapat memperberat kondisi kesehatan pekerja.
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Infark miokard merupakan kondisi di mana otot
jantung mengalami kerusakan akibat berkurangnya perfusi yang menyebabkan
gangguan oksigenasi seluruh jaringan sel. Kembali bekerja setelah terjadinya
serangan infark miokard membutuhkan beberapa langkah penilaian yang memadukan
antara kebutuhan kerja, kondisi penderita, toleransi lingkungan dan rekan kerja
serta memperhitungkan kecacatan yang mungkin terjadi setelah serangan.
Pada pekerja yang mengalami infark miokard maka
penilaian kapasitas latihan melalui treadmill dan echocardiografi dapat menjadi
acuan dalam penentuan kembali bekerja.
- SARAN
Penilaian kembali bekerja merupakan
bagian tugas yang penting bagi profesi kedokteran okupasi karena kembali
bekerja bagi pekerja setelah mengalami gangguan kesehatan dapat menjadi bagian
terapi itu sendiri. Oleh karena itu penilaian kelaikan kerja harus dilakukan
dengan detail dan teliti sehingga pekerja dan pengusaha mendapatkan hasil yang
optimal tanpa merugikan kedua belah pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Hanafiah,A.: Penatalaksanaan
Penyakit Jantung Koroner. Buku Makalah simposium Penyakit Jantung Koroner
FKUI/RSJ Harapan Kita.1986
2.
Micheau A, Hoa Denis. Anatomy
of the hearth-interactive atlas of the human body. Dapat diperoleh di : http://www.imaios.com/en/e-Anatomy
3.
Elliott M.Antman,Eugene
Braunwald. Acute Myocardial Infarction;Harrison’s Principles of Medicine 15th
edition. 2005. hal 1-17.
4.
Talmage
James B, Melhorn J Mark. A physician’s
guide to return to work. American Medical Association. 2005
5. Criteria
Commitee of the New York Heart Association. Diseases of the Heart and Blood Vessels. 6
th ed. Boston, Mass: Little Brown & Co;1964
6. Anonym. Cardiovascular System. Diunduh pada 14 Januari
2012 dapat diperoleh di http://lib.post.ca.gov/Publications
7. Demeter SL, Andersson GBJ. Disability Evaluation.
American Medical association.USA. 1996
8.
Westaby S, Sapsford RN, Bentall HH. Return to work ang
quality of life after surgery for artery cononary diseases. Brirtish medical
Journal, 1979, 2. 1028-1031
9.
Soderman E, Lisspers J, Sundin O.
Dpression as a predictor of return to work in patients with coronary artery
disease. Soc Sci med. 2003 Jan;56(1):193-202
10. Price A. Heart diseases and work. Heart. 2004
September; 90(9): 1077–1084.
11. Yusbar Mira, Bintarti Sampurna, Lukman Hakim. Kesiapan Kesehatan
penumpang airlines. Garuda Indonesia, Jakarta
12. Australian safety and compensation counsil. Work –
related cardiovascular disease Australia.
April 2006. commonwealth.copyright@ag.gov.au
|
No comments:
Post a Comment