Friday 30 December 2016

PENILAIAN KEMBALI BEKERJA POST PTCA PADA WELDER


I

PENDAHULUAN

Bekerja bagi sebanyakan orang merupakan bagian dimana kehidupan tersebut berarti.  Tujuan kehidupan, pencarian jati diri dan kemampuan untuk pemenuhan terhadap seluruh kebutuhan hidup tersandar pada kata bekerja. Kehilangan kemampuan bekerja akan membuat kehilangan sebagian besar dari jalannya kehidupan seseorang.

Pada satu kondisi oleh karena penyakit ataupun kecelakaan,  kemampuan bekerja sesorang dapat berkurang ataupun hilang sama sekali baik untuk sementara ataupun selamanya. Maka tugas dokter tidak hanya merawat penderita melewati akibat penyakit atau kecacatan. Lebih dari itu adalah mengantar penderita untuk mencapai kemampuan tertinggi yang dapat ia capai setelah terjadinya penyakit atau trauma. Pada beberapa kondisi, kembali bekerja bukan merupakan sebuah masalah besar. Setelah gangguan kesehatan di tatalaksana dengan mudah penderita dapat kembali pada kondisi kesehatan semula atau bahkan lebih baik. Namun ada beberapa kondisi yang memiliki kebutuhan khusus untuk kembali pada keadaan semula dan kembali dapat bekerja, infark miokard salah satunya. Pada infark miokard permasalahan tidak hanya terbatas pada memulihkan kondisi setelah serangan, namun lebih jauh adalah bagaimana memelihara kondisi agar tidak terjadi serangan ulang dan merubah sikap dan gaya hidup sehingga   mengurangi risiko terhadap berulangnya penyakit.

Infark miokard merupakan nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu. Hal ini terjadi akibat penyumbatan total arteri koronaria oleh thrombus yang terbentuk pada plaque aterosklerosis yang tidak stabil dan juga sering mengikuti rupture plaque pada arteri koroner. Terjadinya nekrosis pada otot jantung menyebabkan terganggunya suplay oksigen dan bahan makanan ke seluruh tubuh yang mengakibatkan terjadi kelemahan umum di seluruh sel dan jaringan.

Kembali bekerja paska infark mikard merupakan faktor yang penting, bukan hanya pengaruhnya teradap fisik tetapi juga terhadap status emosional. Bagaimanapun hanya 50 – 80 % penderita yang mampu kembali bekerja paska infark myokard ataupun operasi jantung dan dalam 2 tahun jumlah ini akan berkurang sebesar 10 – 15 %. Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang langkah-langkah yang dilakukan untuk menentukan kelaikan penderita untuk dapat bekerja kembali paska infark miokard.

 

II

 

INFARK MIOKARD DAN DAMPAK FAKTOR RISIKO DI TEMPAT KERJA

2.1 DEFINISI

Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus.  Infark Miokard Akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung yang terganggu[1]. Hal ini bisa disebabkan trombus arteri koroner oleh ruptur plak yang dipermudah terjadinya oleh faktor-faktor seperti hipertensi,  merokok dan hiperkolesterolemia

Pada 25% episode IMA kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit setelah serangan, karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas keseluruhan 15-30%. Risiko kematian tergantung pada faktor: usia penderita, riwayat penyakit jantung koroner, adanya penyakit lain-lain dan luasnya infark. Mortalitas serangan akut naik dengan meningkatnya umur. Kematian kira-kira 10-20% pada usia dibawah 50 tahun dan 20% pada usia lanjut.

2.2   DAMPAK FAKTOR RISIKO  DI LINGKUNGAN KERJA

2.2.1 Faktor fisik

  1. Suhu ekstrim. Adanya suhu ekstrim seperti suhu yang sangat tinggi akan meningkatkan respon terjadinya aritmia baik pada individu normal apalagi pada pekerja yang telah memiliki gangguan jantung. Suhu ekstrim dingin dapat menyebabkan spasme koroner yang dapat mengurangi perfusi jantung sehingga akan sangat berbahaya bagi pengidap gangguan jantung koroner untuk bekerja di tempat ekstra dingin.
  2.  Bising. Bising di tempat kerja dalam kurun waktu yang akan meningkatkan tekanan darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya gangguan jantung.
  3. Getaran. Baik getaran segmental maupun getaran seluruh tubuh dapat berdampak pada gangguang arteri dan kardiovaskular system.
  4. Aktifitas fisik. Pekerjaan sedentary atau pekerja tidak aktif secara fisik memiliki risiko 2 kali untuk mendapat serangan jantung dibanding pekerja yang aktif secara fisik. Namun pekerjaan fisik berat (sekitar 6 METs) yang dilakukan secara tidak teratur dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan jantung pada 1 jam pertama.[2]

2.2.2 Faktor kimia

  1. Carbon disulfide digunakan sebagai pelarut pada beberapa industri. Carbon disulfide diserap melalui inhalasi dan melalui kulit. Level pajanan yang dilaporkan terkait dengan gangguan kardiovaskular adalah 20-60 ppm. Saat ini level pajanan yang diijinkan adalah 4 ppm.
  2. Carbon monoksida. CO terikat sangat agresif pada hemoglobin sehingga menurunkan hantaran oksigen ke jaringan termasuk myocardium. Pajanan  CO yang tinggi  jarang terjadi di lingkungan kerja, contoh lingkungan dengan kemungkinan pajanan CO tinggi adalah pemadam kebakaran atau penggunaan diesel pada confined space. Hasil pembakaran organik di industri biasanya menghasilkan kadar CO sekitar 2-8 %, dimana sebagai pembanding adalah kadar CO pada hasil pembakaran rokok adalah 5-15%.
  3. Pelarut. Beberapa pelarut yang terkait dengan gangguan jantung antara lain  bromofluorocarbons, methyl chloroform, methylene chloride, and trichloroethylene.
    Sejumlah kasus kematian mendadak dilaporkan terkait dengan pajanan pelarut dalam jumlah besar , pajanan rendah tidak menunjukkan adanya kenaikan risiko gangguan kardiovaskular.
  4. Timbal.  Dilaporkan bahwa pajanan timbal dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah. Dua kali kenaikan level timbal dalam darah terkait dengan kenaikan 1mm tekanan sistolik dan 0,6 mm tekanan diastolik. 
  5. Arsen. Pajanan arsen akut dapat menyebabkan kelainan EKG dan ventrikel fibrilasi yang rekuren. Gas arsen dapat menyebabkan hemolisis dan gagal jantung. Pajanan arsen subkronis dilaporkan terkait dengan kardiomyopati dan gagal jantung.

2.2.3 Psikososial

Di awal tahun 1958 barulah mulai diketahui bahwa pajanan stress dan ketegangan kerja lebih besar pada pekerja muda yang mengalami penyakit jantung koroner dibanding populasi sehat. Bersamaan dengan itu Friedman dan koleganya mempublikaskan penemuan tentang adanya hubungan yang signifikan antara konsentrasi serum kolesterol dengan waktu pembekuan darah dan variasi siklus stress pada kelompok akuntan.

Karasek mengenalkan konsep job strain model yang menjelaskan bahwa ketegangan akan muncul bila kebutuhan-kebutuhan psikologis di tempat kerja tinggi  bersamaan dengan rendahnya kebebasan untuk mengambil keputusan. Hitehall juga melaporkan  tentang efek rendahnya penghargaan dibanding prestasi yang dilakukan dimana kejadian penyakit jantung koroner lebih tinggi pada pekerja yang mendapat penghargaan yang tidak memadai dengan pekerjaan yang dilakukan. Yang terakhir adalah tentang tingginya kejadian penyakit jantung koroner pada pekerja shift. Hal ini terjadi melalui 3 mekanisme yaitu terganggunya irama sirkadian, tergangguanyahubungan sosial dan perubahan perilaku.

2.3  KEMBALI BEKERJA

Banyak faktor berpengaruh terhadap kemungkinan kembalinya ke pekerjaan semula paska infark miokard. Faktor-faktor yang dapat menjadi penghalang kembali ke pekerjaan sebelumnya antara lain status pekerjaan sebelumnya, pendidikan, usia, angina pada aktifitas, durasi tanpa bekerja, kecemasan dan adanya depresi.

Pada kasus infark miokard maka penilaian uji treadmill merupakan bagian yang sangat penting dalam penentuan kembali kerja. Konsep penting dalam uji treadmill adalah metabolic equivalent  (MET) system . Satu MET setara dengan konsumsi oksigen dalam kondisi duduk istirahat di ruangan dalam suhu dan kelembaban normal. Nilai normal dari 1 MET adalah 3,5 ml oksigen perkilogram berat badan permenit. Setiap aktifitas yang dilakukan membutuhkan jumlah oksigen atau energi tertentu. Kemampuan latihan maksimum dapat diprediksi dari jumlah MET yang didapat pada uji treadmill.

Beberapa studi dan pedoman menganjurkan bahwa individu yang memiliki kapasitas untuk melakukan suatu pekerjaan secara terus-menerus misalnya selama delapan jam dengan waktu istirahat tertentu maka ia sedikitnya melakukan 40% dari level maksimal MET nya. Ia juga  diharapkan dapat melakukan 15 menit  1 atau 2 kali sehari aktifitas yang membutuhkan 80% dari level MET maksimal nya.

Sebagai contoh jika seseorang dapat mencapai latihan fisik dengan treadmill 10 MET secara aman dan kebutuhan aktifitas pekerjaannya secara terus-menerus membutuhkan 2,5 METs dan periode singkat aktifitas 5 METs, maka orang tersebut dianggap mampu untuk melakukan pekerjaan yang dibutuhkan.

Pengukuran penting lainnya dalam memperkirakan ketidakmampuan di bidang jantung adalah ejection fraction. Pengukuran dilakukan menggunakan angiographic left ventriculography dengan pengukuran tekanan. Aturan umum yang digunakan adalah dikatakan normal bila ejection fraction lebih dari 50%, dinyatakan disfungsi ringan bila  ejection fraction 40%-50% , disfungsi sedang bila ejection fraction 30%-40% dan disfungsi berat bila ejection fraction kurang dari 30%.

Table 1. Kebutuhan fisik,  energy dan aktifitas [3]

Level aktifitas
Kebutuhan energy (METs)
Contoh pekerjaan
Aktifitas rumah tangga
Aktifitas rekreasi
Kondisi fisik
sedentary
1,5 – 2,1
Administrasi, bartender, pengemudi truk, operator crane
Mencuci, berpakaian, menulis mengendarai
Billiard, memancing, golf, berbelanja
Berjalan 2 mil/jam, sepeda static, senam sangat ringan
Ringan
2,2 – 3,5
Mengelas, bertukang, reparasi mobil, merakit mesin, (ringan)
Mengecat, menyapu, membersihkan rumah, mengepel lantai
Menari, golf, melaut, tenis ganda
Berjalan 3-4 mil/jam, bersepeda 6-8 mil/jam, senam ringan
Sedang
3,6 – 6,3
Bertukang, alat pneumatic, menyekop
Berkebun, menaiki tangga perlahan, memotong rumput
Bulutangkis, tenis tunggal, basket, sepak bola,
Berjalan 4-5 mil/jam, bersepeda 9-10 mil/jam, Renang gaya dada
Berat
6,4 - 7,5
Menggali parit, menyelop
Menggergaji kayu
Berkanu, memanjat gunung,
Jogging 5 mil/jam, bersepeda 12 mil/jam, mendayung, renang gaya
Sangat berat
>7,5
Pekerjaan berat dan menebang pohon
Menaiki tangga cepat, Menyekop salju keras
Squash, ski
Berlari > 6 mil/jam, bersepeda >13 mil/jam, lompat tali

 

 

 

 

 

 

 

 

Table 2.  Kelas Fungsional berdasarkan  New York Heart Association[4]

Kelas
Deskripsi
I
Tidak ada batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan fatigue, palpitasi, atau dispnea yang  tidak semestinya
II
Sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat beristirahat, tapi aktivitas fisik biasa menghasilkan fatigue, palpitasi, atau dispnea
III
Ditandai keterbatasan aktivitas fisik. Nyaman saat istirahat, tapi aktivitas yang lebih sedikit dari biasa mengakibatkan fatigue, palpitasi atau dispnea
IV
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik dengan nyaman. Gejala-gejala insufisiensi kardiak pada istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan, ketidaknyamanan bertambah

 

Tabel 4. Kriteria derajat impairmen pada penyakit jantung koroner berdasarkan AMA7 

Kelas I: 0%-10%
Kelas II : 10%-29%
Kelas III : 30%-49%
Kelas IV : 50%-100%
Individu dengan gejala angina pectoris samar-samar  dan pada uji angiografi atau individu yang melakukan angiografi karena alasan lain dan sedikitnya terdapat 50% penurunan area cross sectional pada arteri koroner dengan EF normal
Riwayat IM atau angina tapi saat diperiksa tidak menunjukkan adanya gejala saat aktifitas biasa atau aktifitas sedang berat (kelas fungsional I)
Dan
Mungkin membutuhkan penyesuaian diet atau obat untuk mencegah timbulnya angina
Dan
Pada uji treadmill mencapai 90% prediksi maksimal HR tanpa muncul ST depresi atau hipotensi
Atau
Telah dilakukan pembedahan atau angioplasty, asimtomatok pada aktifitas harian, dapat mencapai sedikitnya 7 METs
Riwayat IM atau angina yang pada EKG istirahat menunjukkan ischemia
Atau
Terdapat sedikitnya 50% obstruksi arteri koroner
Dan
Membutuhkan penyesuaian diet sedang atau obat untuk mencegah angina tapi dapat terkena angina pada aktifitas sedang berat (kelas fungsional II) METs >5 tapi<7
Atau
Telah dilakukan pembedahan atau angioplasty dan terus membutuhkan terapi dan memiliki gejala di atas
Riwayat MI pada EKG istirahat
Atau
Terdapat sedikitnya 50% obstruksi koroner
Dan
Membutuhkan penyesuaian diet sedang atau obat untuk mencegah angina tapi tetap menunjukkan gejala angina pada aktifitas sehari-hari (kelas fungsional III-IV), METs<5
Atau
Telah dilakukan pembedahan atau angioplasty dan terus membuthkan obat da memiliki gejala diatas

 

 

 III

PENILAIAN LAIK KERJA PASCA INFARK MIOKARD

Dalam bidang okupasi terdapat beberapa tahapan penilaian yang harus dilakukan dalam menentukan kelaikan kembali bekerja. Langkah-langkah tersebut adalah :

  1. Deskripsi Pekerjaan atau Tugas (Job Description)
  2. Tuntutan Pekerjaan (Job Demand)
  3. Kondisi Kesehatan (Status Medis)
  4. Penetapan Status Kecacatan
  5. Kemungkinan Membahayakan Diri Sendiri, Rekan Kerja atau Lingkungan
  6. Toleransi
  7. Status kelaikan kerja

Untuk memudahkan uraian mengenai tahapan penilaian kembali bekerja maka akan di sajikan sebuah kasus infark miokard post  PTCA pada pekerja pengelas baja stainless.

Pekerja laki-laki berusia 48 tahun mengeluhnya nyeri dada, berdebar, lemas dan berkeringat dingin saat melakukan pekerjaan sebagai pengelas baja stainless. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, uji treadmill dan echocardiografi, penderita di diagnosis menderita infark miokard akut dan dilakukan tindakan PTCA.

Dua    minggu setelah tindakan PTCA pekerja mulai masuk untuk bekerja namun hanya melakukan pekerjaan administrasi selama 4 jam di tempat kerja.  Empat  minggu kemudian pekerja mulai dapat masuk 8 jam perhari sebagai pengatur administrasi barang di gudang. Setelah 6 bulan PTCA manajemen perusahaan ingin mengembalikan pekerja ke pekerjaan semula sebagai pengelas baja stainless.

Langkah-langkah penilaian kembali bekerja pada Pekerja di atas sebagai berikut.

    1. Deskripsi Pekerjaan
      3.1.1 Uraian tugas
      Pekerja adalah pengelas baja stainless yang bekerja dalam satu regu proyek pembuatan mesin. Dalam 1 regu terdapat seorang desainer mesin, pengelas, penggerinda, QC dan supervisor. Pengelas bertugas memotong potongan lembar baja stainless dan kemudian menyambung sesuai dengan desain yang dibutuhkan. Pekerja bertanggung jawab langsung pada supervisor proyek. Dalam melakukan pekerjaan P tidak terhubung dengan publik. Pada pembuatan mesin yang sangat besar dan membutuhkan perakitan di tempat klien maka pekerja juga harus berangkat ke tempat klien baik di luar maupun di dalam negeri.
      Area kerja merupakan ruang berukuran 100 x 250 x 8 meter dengan ventilasi yang baik namun terdapat sumber panas yang berasal dari mesin las. Pekerja bebas beristirahat atau minum di sela-sela pekerjaan. Pekerja terkadang harus bekerja di ketinggian sesuai dengan ketinggian mesin yang dibuat. Pada beberapa bagian mesin yang berbentuk tangki maka ada kemungkinan pekerja juga harus bekerja di dalam tangki yang merupakan confined space.

Pekerjaan dimulai jam 07.00 pagi kemudian istirahat jam 12.00-13.00 dan meneruskan   pekerjaan  sampai  jam  16.00.  Pekerja menuju tempat kerja menggunakan motor dengan waktu perjalanan sekitar 5 – 10 menit

3.1.2 Aktivitas sebagai pengelas  :

  1. Tiba di tempat kerja dan menyiapkan peralatan dan pakaian kerja.
  2. Mengambil dan meletakkan lembar stainless sesuai desain
  3. Menghidupkan aliran listrik
  4. Melakukan pengelasan pada sambungan sesuai desain (pengelasan terbanyak adalah tipe gas tungsten arc welding dan gas metal arc welding)
  5. Mematikan aliran listrik
  6. Merapikan peralatan kerja

3.1.3 Alat pelindung diri yang digunakan :

  1. Sarung tangan terbuat dari kulit halus
  2. Sepatu safety
  3. Baju seragam
  4. Welding helmet
  5. Masker dengan filter untuk fume

 

 

 

 

Gambar 1 – 4 . Proses kerja pembuatan mesin di bagian pengelasan

                                                                                                                 

 

Gambar 5. Ruangan kerja / area pengelasan

 


 

3.1.4  Bahaya potensial

Table 5. Bahaya potensial pekerjaan sebagai pengelas

Urutan kegiatan
Bahaya potensial
Gangguan kesehatan yang mungkin
Risiko kecelakaan kerja
Fisik/Mekanik
Kimia
Biologi
Ergonomic
psikososial
 
Menggunakan pakaian kerja Menyiapkan peralatan
 
 
Mengambil lembar stainless steel
 
Menghidupkan aliran listrik
 
 
Melakukan pengelasan (GMAW, GTAW)
 
 
Mematikan aliran listrik
 
 
Merapikan peralatan kerja
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
MEM
 
UV, infra merah, suhu tinggi, vibrasi
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Welding fume (Cr, Ni, Mn), NO2, CO, CO2, O3, argon
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tepi tajam,
Load berat (3-30 kg)
 
 
Membungkuk dan twisting
 
 
 
Posisi kaku, statis pergelangan tangan, siku, bahu, punggung, lutut, confined spaces, ketinggian
 
 
 
 
 
myalgia
LBP
 
 
 
 
 
 
iritasi mata, kulit, fotokeratitis, saluran napas, kanker saluran napas, kerusakan hepar dan ginjal
asfiksia, katarak, myalgia LBP, CTS, dehidrasi
Metal fume fever
 
 
 
 
Asfiksia
 
Tersandung lilitan kabel, kesetrum, ledakan gas
 
 
 
Teriris tepi stainless
 
 
Tersengat aliran listrik
 
Terjatuh

 

 

 

 

 

 

    1. Tuntutan Pekerjaan (Job Demand)
      Berdasarkan deskripsi pekerjaan diatas maka tuntutan pekerjaan dari berbagai aspek meliputi:
      1. Kapasitas Fisik : pekerjaan mengelas dapat digolongkan dalam pekerjaan kebutuhan kerja kategori ringan dimana metabolic equivalen untuk pekerjaan tersebut 2,2 - 3,4. Bila untuk dapat melakukan pekerjaan terus-menerus selama 8 jam membutuhkan sekitar 40% dari level METs yang dimiliki maka yang dibutuhkan adalah pengelas yang memiliki METs berkisar antara 6-9 METs. Pekerja juga harus mampu terus-menerus memegang tangkai las seberat 3 kg dan terkadang dalam regu turut mengangkat lembar baja stainless sampai seberat 30 kg.

      1. Mobilitas : selama melakukan pekerjaan pekerja diharapkan mampu berjalan sekitar 2 mil/ jam (3 METs) dan duduk dan berdiri  tanpa bantuan dan keluhan. Pekerja juga harus mampu untuk menaiki tangga (3,6 – 6,3 METs) sehingga diharapkan pekerja memiliki METs dengan kisaran 40%xMETs adalah 3,6 dan 80% METs adalah 6,3. Sehingga pekerja minimal memiliki METs dalam kisaran 9 METs.  
      2. Penginderaan : dapat mengenali perubahan suhu (sensitifitas kulit baik), mendengar percakapan normal dan visus minimal 6/18 dengan atau tanpa koreksi
      3. Keseimbangan : dapat berdiri, berjalan, duduk dan berpindah posisi tanpa gangguan
      4. Keterampilan motorik : dapat menggenggam tangkai las dengan erat dan mengarahkan tangkai las ke posisi materi yang akan di las dengan tepat
      5. Kesiapan menghadapi emergensi : dapat berlari dan mengenali arah keluar tanpa keluhan dengan tenang
      6. Komunikasi : mampu melakukan komunikasi dengan rekan sekerja dengan baik, mampu memberikan informasi dan mengerti informasi serta melakukan perintah
      7. Aspek Mental.  Pekerja mampu melaksanakan perintah, mampu menghadapi tuntutan pekerjaan tanpa keluhan berarti
      8. Aspek Organisasi. Pekerja mampu bekerja dalam tim
        3.2.12 Aspek Lingkungan Kerja.  Pekerja mampu bekerja di tempat ketinggian dengan stabil dan menggunakan alat pelindung diri yang dibutuhkan. Pekerja juga harus mampu sesekali berada dalam confined space dan mampu memberikan tanda bahaya bila terjadi tanda atau gejala kekurangan oksigen (Ejction fraction normal / >50%). Pekerja juga harus mampu melakukan perjalanan jauh lewat darat, laut ataupun udara. (6 METs)

3.2.13 Aspek Temporal. Pekerja mampu bekerja sedikitnya 8 jam sehari dengan masa istirahat selama 1 jam.

3.2.14 Aspek Ergonomi. Pekerja mampu beradaptasi dengan desain tempat kerja. Dapat melakukan gerakan menggenggam, memfokuskan tangkai las, membungkuk, jongkok, duduk dan berdiri sesuai dengan kebutuhan pekerjaan tanpa keluhan

3.3 Kondisi Kesehatan Pekerja

3.3.1 Anamnesis (6 bulan setelah PTCA)

Selama 3 bulan terakhir pekerja tidak pernah lagi merasakan nyeri dada, sesak, mudah lelah atau keluhan lainnya. Pekerja dapat melakukan lari di sore hari sekitar 15 menit tanpa keluhan serta dapat bepergian menggunakan motor.  Pekerja juga dapat naik dan turun tangga sekitar 15 – 20 anak tangga tanpa keluhan.  Pekerja tidak merokok dan terus meminum obat sesuai anjuran dokter secara teratur. Dan seluruh keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan sebelumnya dapat dilakukan tanpa adanya perubahan atau gangguan.

 

3.3.2 Pemeriksaan fisik

TD : 140/80 mmHg

HR : 83 x/menit

Jantung dan paru dalam batas normal

Gerakan motorik dan tonus otot dalam batas normal

 

3.3.3 Laboratorium

Total kolesterol : 127 mg/dl

HDL kolesterol : 41 mg/dl

LDL kolesterol : 85

Trigliserida : 78 mg/dl

 

3.3.4 Hasil treadmill terakhir :

Fungsional class : I

Fitness class : cukup

Kelas aerobic : 10,17 METs

 

3.3.5 Hasil Echocardigrafi

Normal

EF > 50%

 

3.3.6 Hasil pemeriksaan spirometri

FVC : 3,37 L (105%)

FEV1 : 2,80 L (106%)

FEV1/FVC : 83,0% (97%)

 

3.3.7 Hasil pengisian kuesiner SDS (stress diagnosis survey)

Tidak menunjukkan adanya stress dalam pekerjaan

 

3.3.8 Terapi :

Flavix 1x1 tab

Ascardia 1x80 mg

Maintate 1x5 mg

Atorsan 1x20 mg

Notrocaf retard 3x1

 

    1. Penetapan Status Kecacatan

3.4.1 Impairment : rawayat  infark miokard pasca PTCA dan berdasarkan American Medical    Association (AMA)  termasuk dalam gangguan jantung akibat miokard infark kategori kelas II (10% - 29%)

3.4.2 Disability : tidak ada

3.4.3 Handicap : tidak ada

3.5 Kemungkinan Membahayakan Diri Sendiri, Rekan Kerja atau Lingkungan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tidak terdapat gejala dan tanda yang menunjukkan pekerja memerlukan kebutuhan khusus yang membutuhkan penyesuaian lingkungan dan rekan kerja lainnya. Tidak ditemukan pula adanya kecenderungan untuk membahayakan diri sendiri ataupun rekan kerja lainnya

 

3.6 Toleransi

Pekerja menunjukkan keinginan untuk kembali bekerja ditunjang oleh dukungan atasan dan rekan kerja yang siap untuk menerima kembali pekerja bergabung dalam proyek pekerjaan.

 

3.7 Status Kelaikan Kerja

dari hasil pemeriksaan di atas  dapat disimpulkan bahwa pekerja mampu untuk melakukan pekerjaan semula dengan tidak mempengaruhi kondisi medis. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan :

  1. Pekerja merupakan penderita infark miocard pasca PTCA tanpa keluhan subyektif saat ini.
  2.  Berdasarkan deskripsi pekerjaan dan lingkungan kerja, maka kapasitas fisik yang dibutuhkan adalah pekerja yang tidak mempunyai keluhan subyektif, memiliki METs sedikitnya 6,  kelas fungsional  I dan berisiko kecil untuk terjadinya infark ulang
  3. Kondisi pekerja saat ini, tanpa keluhan, hipertensi grade I, dari hasil treadmill diketahui METs 10,17, kelas fungsional I dan berisiko kecil untuk terjadinya serangan ulang serta tidak ada kecenderungan strees akibat kerja
  4. Tidak terdapat penolakan ataupun hambatan dari pekerja, atasan,  rekan kerja maupun lingkungan kerja terhadap kemungkinan kembali bekerja seperti semula sebagai pengelas baja stainless.
    Status ini akan ditinjau kembali dalam masa 3 bulan untuk melihat efektifitas kerja dan kemungkinan ada keluhan terkait dengan pekerjaan.
    Beberapa hal yang perlu disarankan untuk pekerja adalah :

  1. Terus melakukan latihan fisik dengan intensitas rendah sampai sedang 3 – 5 kali perminggu. Latihan yang dapat dilakukan antara lain jalan cepat dan berenang.
  2. Menjaga asupan makanan agar memperbanyak konsumsi buah dan sayur dengan porsi 5 porsi perhari
  3. Mengontrol tekanan darah agar tidak melebihi 140/90 mm Hg

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IV

DISKUSI

REVIEW KEPUSTAKAAN

  1. Westaby S,  Sapsford RN, Bentall HH dari penelitian di Inggris melaporkan tentang kembali bekerja dan kualitas hidup 6 bulan pasca operasi pada penderita penyakit jantung koroner. Dari 130 pekerja  penyakit arteri koroner yang menjalani pembedahan, 24 pekerja berat dengan manual handling, 16 (66,7%) dapat kembali bekerja tanpa batasan setelah operasi.  Pada pekerja terampil, dari 41 yang menjalani operasi 20 (49,2%)  dapat kembali bekerja tanpa batasan. Pada pekerja staf dari 32 yang menjalani operasi 18 (56,3%) dapat bekerja kembali tanpa batasan dan dari 20 responden dari kelompok profesional dan eksekutif , 16 (80%) dapat kembali bekerja tanpa batasan. Secara detail data disajikan di bawah ini :

 
 
Sebelum operasi
Sesudah operasi
 
Jumlah P
Kerja tanpa batasan
Kerja terbatas angina
Terpaksa stop kerja
Kerja tanpa batasan
Kerja terbatas angina
Terpaksa stop kerja
Pekerja berat manual
24
 
3
21
16
2
5
Pekerja skill
41
2
15
24
20
4
16
staf
32
3
13
16
18
8
6
Profesional, eksekutif
20
4
7
9
16
1
3

 

Disimpulkan bahwa setelah operasi pada penderita gangguan jantung koroner 90% responden dapat hidup tanpa keluhan dan 70% dapat kembali bekerja seperti biasa. Bahkan pada pekerja berat manual, sebelum operasi tak satupun dapat bekerja namun setelah operasi 66,7% dapat kembali bekerja tanpa batasan.8

  1. Soderman E, Lisspers J, Sundin O melakukan research di Ostersund Swedia tentang pengaruh depresi pada pasien penderita penyakit jantung koroner untuk kembali bekerja. Penelitian dilakukan dengan menilai kembali bekerja dalam kurun waktu 12 bulan baik pada pekerja full time maupun pekerja part time. Responden berjumlah 198 pekerja yang mengalami miokard infark akut (85 responden), 73 responden setelah mendapat operasi (CABG) dan 40 responden setelah mendapat treatmen angioplasti koroner (PTCA). 
    Dilaporkan adanya depresi secara klinis  sangat berpengaruh terhadap kembali bekerja setelah 12 bulan pada pekerja full time maupun part time. Pada responden dengan depresi ringan hanya berpengaruh pada pekerja part time. Dilaporkan juga tentang faktor lain untuk kembali bekerja yaitu tingkat pendidikan dan usia. Makin tinggi tingkat pendidikan dan makin muda usia memiliki respon yang lebih bagus untuk kembali bekerja pada responden dengan penyakit arteri koroner.
  2. Anne E Price dalam Heart diseases and work melaporkan bahwa beberapa issue yang perpengaruh untuk kembali bekerja pada pekerja dengan penyakit jantung koroner adalah :

  1. Kondisi penyakit jantung yang membuat pekerja berhenti bekerja secara individu.
  2. Penurunan kapasitas kerja yang terjadi paska serangan infark miokard
  3. Karakteristik asli individu dan faktor psikososial

Anne menyimpulkan beberapa hasil penelitian sebagai berikut :

  1. Bagaimanapun prognosis penyakit, semakin lama berhenti bekerja selama sakit maka  semakin sulit untuk kembali bekerja.
  2. Bila kejadian serangan jantung terjadi di tempat kerja, kembali bekerja akan lebih sulit
  3. Semakin tua usia, semakin sulit untuk kembali bekerja
  4. Tipe pekerjaan – bila pekerjaan tampak tidak begitu dihargai maka semakin kecil motifasi untuk kembali bekerja. Kembali bekerja juga semakin sulit bila pekerjaan merupakan pekerjaan dengan risiko tinggi
  5. Sikap pemberi kerja yang tidak mendukung dapat menghambat kembalinya bekerja pasca serangan infark miokard
  6. Sikap individu terhadap dirinya sendiri11

  1. Mira, Sampurna dan Hakim dalam laporannya mengenai  Kesiapan Kesehatan Penumpang  Airline menyatakan bahwa pasien pada umumnya tidak diperkenankan terbang kalau penyakitnya akan memburuk bila terpapar lingkungan yang hipoksik atau tekanan udara yang rendah. Semakin tinggi dari permukaan laut, tekanan udara akan semakin rendah.
    Pesawat terbang modern pada umumnya beroperasi pada ketinggian di antara 25.000 kaki sampai 40.000 kaki dengan tekanan dalam kabin yang dipertahankan agar setara dengan tekanan pada ketinggian antara 5.000 kaki - 7.000 kaki, sistem kabin bertekanan pada umumnya dapat mengatasi masalah fisiologis yang timbul pada ketinggian tersebut.

Pada ketinggian 6.000 kaki tekanan parsial oksigen di alveoli akan turun dari 103 mmHg menjadi 77 mmHg  dan saturasi oksigen akan turun 3%. Penurunan tekanan parsial oksigen ini tidak akan mengganggu penumpang yang relatif sehat, namun dapat mengganggu penumpang penderita penyakit yang peka dengan keadaan hipoksia seperti beberapa penyakit jantung (gagal jantung, infark miokard), anemia berat, gangguan sirkulasi darah otak, fungsi paru yang kurang baik dan lain-lain. Pasien dengan bronkitis kronik, emfisema, bronkiektasis dan korpulmonale, mungkin membutuhkan O2 tambahan selama penerbangan. Gagal jantung yang tidak terkontrol dan infark miokard yang terjadi kurang dari 6 minggu, adalah kontraindikasi untuk terbang.  Penumpang dengan penyakit tekanan darah tinggi yang berat, diperkenankan mengadakan perjalanan dengan pesawat udara bila yang bersangkutan minum obat dan sebaiknya tidak mengadakan perjalanan jauh/lama, karena hipoksia akan menaikkan tekanan darah. Penderita angina pektoris berat sebaiknya juga tidak melakukan perjalanan udara dan bila terpaksa harus disediakan oksigen selama perjalanan. Pasien dengan cardiac reserve yang buruk membutuhkan penilaian yang teliti sebelum diizinkan terbang. Sebagai petunjuk praktis dapat dikatakan bahwa pasien yang dapat berjalan sejauh 80 m dan naik 10-12  anak tangga tanpa gejala sesak nafas, diperkenankan menjadi penumpang pesawat terbang

  1. Terkait dengan pengaruh pekerjaan dalam confined spaces, studi di Australia menyebutkan bahwa kadar CO berperan dalam terjadinya gangguan jantung pada pekerja. Sebuah studi yang menginvestigasi tentang level karbon monoksida dan COHb pada pekerja di Australia yang bekerja di area indoor (plan perakitan automobil, tambang bawah tanah dan parkir dalam gedung) melaporkan bahwa level CO di area tersebut adalah 12 ppm atau kurang.  Pada level tersebut dilaporkan bahwa kadar COHb pada pekerja ditemukan  signifikan terhadap pajanan CO. Level COHb yang ditemukan cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan jantung terutama pada pekerja yang telah memiliki gangguan arteri koroner sebelumnya dan  yang terpajan asap rokok.12

 

Price dalam tulisannya tentang kembali bekerja setelah serangan jantung menyebutkan bahwa pada penderita penyakit jantung koroner isu terpenting untuk kembali bekerja adalah nyeri dada yang persisten selama latihan, risiko aritmia dan level fungsi ventrikel  kiri khususnya bila terkait dengan kapasitas latihan. Kapasitas fungsi harus diukur sebelum kembali bekerja disertai dengan data indikator prognosis.

Pada kasus di atas terdapat beberapa poin penting dalam penentuan kembali bekerja yaitu :

  1. Infark miokard sendiri sebagai dasar penyakit yang berpengaruh terhadap kondisi fisik pekerja
  2. Kondisi fisik, kapasitas kerja serta kondisi mental emosional sesudah infark miokard
  3. Sifat pekerjaan dengan beberapa risiko khusus seperti temperatur tinggi saat mengelas, proses pengelasan, confined spaces, ketinggian dan kemungkinan bepergian dalam kurun waktu yang cukup lama dalam pesawat terbang.

Pada pekerja di atas, kondisi yang terkait dengan infark miokard sepertinya sudah dapat teratasi dimana 6 bulan setelah dilakukan tindakan PTCA keluhan nyeri dada tidak pernah lagi dialami. Kondisi beberapa faktor yang dapat mencetuskan infark juga tampak terkontrol dimana nilai lemak darah dalam komposisi yang baik antara nilai HDL dan LDL kolesterol serta pada echocardiografi menunjukkan bahwa ejection fraction di atas 50%.

Dalam hal kapasitas latihan sesudah infark miokard, pada pengukuran kapasitas latihan  melalui uji treadmill didapat kapasitas latihan 10,17 METs.  Dengan demikian pekerja setidaknya dapat melakukan pekerjaan dengan kebutuhan energi sekitar 4 METs selama 8 jam terus menerus. Bila melihat pada tabel kebutuhan energi dan aktifitas maka dengan kisaran tersebut pekerja dapat mengerjakan pekerjaan dengan tipe sedang seperti bertukang, menyekop, berkebun, menaiki tangga kecepatan sedang dan berolahraga bulutangkis atau sepakbola. Pada tabel di atas mengelas dikategorikan sebagai aktifitas ringan maka bila kebutuhan pada pekerja ini hanya mengelas maka pekerja secara fisik telah memenuhi kriteria tersebut. Ditunjang dengan tidak adanya perubahan keterampilan dan kemampuan kerja dibanding sebelum infark miokard dan secara mental emosional pekerja juga nampak siap untuk kembali ke pekerjaan semula.

Hal ketiga yang tak kalah penting adalah melihat secara rinci kebutuhan dan kapasitas kerja yang akan dikerjakan. Seperti disebutkan di atas terdapat beberapa kondisi dalam proses pengelasan dan pekerjaan yang membutuhkan kapasitas energi tertentu seperti bekerja di ketinggian dan  menaiki tanggi. Dengan nilai METs 10,17  bila merujuk pada  dalam 15 menit seseorang dapat melakukan 80% dari nilai METs maka pekerja ini dapat melakukan aktifitas fisik dengan kebutuhan sekitar 8 METs dalam jangka waktu 15 menit. Aktifitas dengan kebutuhan 8 METs termasuk dalam aktifitas sangat berat diantaranya menebang pohon dan menaiki tangga dengan cepat. Dengan demikian pekerja ini akan sanggup disela-sela pekerjaannya untuk melakukan aktifitas sangat berat selama 15 menit.

Terkait dengan kebutuhan untuk bepergian dengan pesawat udara dalam jangka waktu yang lama, bila merujuk pada tulisan Mira, sampurna dan Hakim di atas maka dengan kapasitas latihan 10,17 METs dan kondisi kardiovaskular stabil, tampaknya pekerja dapat bepergian dengan pesawat dengan cukup aman.

Dalam hal pekerjaan dalam confined spaces dan suhu tinggi, dengan ejection fraction di atas 50%, secara fungsional tampaknya pekerja dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Namun sebaiknya harus dilakukan komunikasi yang baik dengan pihak perusahaan. Perusahaan harus memiliki standar operasional yang ketat ketika pekerja akan bekerja di confined spaces. Walaupun tampaknya pekerja memiliki kapasitas fisik yang prima namun kesiapan kemungkinan terjadinya berkurangnya kadar oksigen atau meningkatnya kadar CO dapat membahayakan bagi pekerja yang sehat apalagi pada pekerja yang telah memiliki riwayat gangguan jantung.

Secara umum pekerja di atas dapat kembali bekerja ke pekerjaan semula sebagai pengelas. Pekerja diharapkan selalu menjaga  kondisi kesehatannya dengan mengendalikan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan jantung. Manajemen dalam hal ini turut serta mengawasi terhadap kemungkinan adanya pajanan di tempat kerja yang dapat memperberat kondisi kesehatan pekerja.

 

 

 

 

 

 

 

V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Infark miokard merupakan kondisi di mana otot jantung mengalami kerusakan akibat berkurangnya perfusi yang menyebabkan gangguan oksigenasi seluruh jaringan sel. Kembali bekerja setelah terjadinya serangan infark miokard membutuhkan beberapa langkah penilaian yang memadukan antara kebutuhan kerja, kondisi penderita, toleransi lingkungan dan rekan kerja serta memperhitungkan kecacatan yang mungkin terjadi setelah serangan.

Pada pekerja yang mengalami infark miokard maka penilaian kapasitas latihan melalui treadmill dan echocardiografi dapat menjadi acuan dalam penentuan kembali bekerja.

    1.  SARAN

Penilaian kembali bekerja merupakan bagian tugas yang penting bagi profesi kedokteran okupasi karena kembali bekerja bagi pekerja setelah mengalami gangguan kesehatan dapat menjadi bagian terapi itu sendiri. Oleh karena itu penilaian kelaikan kerja harus dilakukan dengan detail dan teliti sehingga pekerja dan pengusaha mendapatkan hasil yang optimal tanpa merugikan kedua belah pihak.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA



1.     Hanafiah,A.: Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Buku Makalah simposium Penyakit Jantung Koroner FKUI/RSJ Harapan Kita.1986
2.     Micheau A,  Hoa Denis. Anatomy of the hearth-interactive atlas of the human body. Dapat diperoleh di : http://www.imaios.com/en/e-Anatomy
3.     Elliott M.Antman,Eugene Braunwald. Acute Myocardial Infarction;Harrison’s Principles of Medicine 15th edition. 2005.  hal  1-17.
4.     Talmage James B, Melhorn J Mark. A  physician’s guide to return to work. American Medical Association. 2005
5.     Criteria Commitee of the  New York Heart Association. Diseases of the Heart and Blood Vessels. 6 th ed. Boston, Mass: Little Brown & Co;1964
6.     Anonym. Cardiovascular System. Diunduh pada 14 Januari 2012 dapat diperoleh di http://lib.post.ca.gov/Publications
7.     Demeter SL, Andersson GBJ. Disability Evaluation. American Medical association.USA. 1996
8.     Westaby S,  Sapsford RN, Bentall HH. Return to work ang quality of life after surgery for artery cononary diseases. Brirtish medical Journal, 1979, 2. 1028-1031
9.     Soderman E, Lisspers J, Sundin O. Dpression as a predictor of return to work in patients with coronary artery disease. Soc Sci med. 2003 Jan;56(1):193-202
10.  Price A. Heart diseases and work. Heart. 2004 September; 90(9): 1077–1084.
11.  Yusbar Mira, Bintarti Sampurna, Lukman Hakim. Kesiapan Kesehatan penumpang airlines.  Garuda Indonesia, Jakarta
12.  Australian  safety and compensation counsil. Work – related cardiovascular disease Australia.  April 2006. commonwealth.copyright@ag.gov.au
 

 

 

 
 
 
 
 
 

No comments:

Post a Comment